Kupikir
dengan aku berada di lingkungan keluarga yang lengkap akan
menjadikanku
seseorang yang beruntung. Bisa bercengkrama tanpa harus ada omelan dan perintah. Tapi
ternyata keberuntungan itu tak ku rasakan. Aku lebih merasa kalau goresan sendu
lebih banyak kurasakan.
Hidupku
saat ini sama dengan nama ku “Cloudy” . Akhir-akhir
ini hari-hari ku sangat tidak berwarna. Hanya warna abu-abu gelap yang
menenggelamkanku dalam kesunyian. Tapi aku bangga dengan nama “Cloudy”
karena cloud adalah bagian dari
hujan. Tanpa cloud hujan
tidak akan meneteskan butiran air yang berisi biji keajaiban untuk bumi ini.
Sesampainya di rumah aku langsung
memejamkan mataku, menenangkan otot-otot pundak ku yang seakan sangat berat
untuk hari ini. Aku terlelap dengan mata yang panas. Menahan air mata ini agar
tak jatuh kembali. Berat
untuk ku membuka mata ini. tak
ku sangka sudah delapan jam aku tertidur di ranjang ini. Aku terbangun dan
kulihat sudah pukul sepuluh. Ya Tuhan sampai-sampai aku lupa untuk salat. Kubasuhkan air ke wajahku, terasa dingin dan tenang. Kulantunkan semua
yang aku rasakan hari ini . Aku merintih, terisak dalam gaung-Mu, penuh harap dalam cobaan ini, semoga
dosaku juga bisa luruh dalam lantunan ini.
Setiap pulang
sekolah aku menghabiskan waktu di pantai. Setelah puas melamun, saat langit mulai gelap aku kembali
pulang. Seperti biasa aku selalu kena marah oleh ibu. Kadang aku merasa dia bukan ibuku dan
akupun juga bukan anaknya. Apa pun yang kulakukan tak pernah benar di
matanya, hanya prasangka buruk terhadapku
yang ada di dalam pikirannya.
“Darimana
saja kamu?” Tanya ibu
“Dari samping rumah, di pantai,” jawabku pendek
“Kamu itu main terus, gak pernah bantu ibu,” ibu
mulai mengomel panjang lebar.
“Tuhan, aku capek dengan semua ini. Dari
kecil sampai sekarang, aku selalu menuruti apa kata ibu.”
“Kurang apa aku ini? Aku sudah melakukan
apapun demi dia, tapi baginya tetap saja kurang, “ batinku.
Aku mulai terbiasa
mendengar omelan ibu. Walau terkadang
dapat menusuk hati. Ini semua tak adil, anaknya kan bukan aku saja. Kenapa harus aku yang selalu melakukan ini itu. Kadang
aku iri dengan kakakku, dia dianak emaskan. Tak pernah dimarahi, tak pernah bantu-bantu,
kerjaannya hanya menatap layar laptop dan bermain game. Semua keinginannya
dapat terpenuhi, apapun yang dilakukannya tak pernah dilarang. Sedangkan
aku, apapun yang aku lakukan dilarang dan serba salah. Padahal aku ingin seperti yang lainnya.
“Loh
kok udah tidur? Udah selesai belajarnya?” Tanya ibu
“Udah,”
jawabku singkat.
Memang akhir-akhir ini,
aku jarang berbincang-bincang dengan ibu, setelah peristiwa kemarin saat
ponselku diambilnya, rasa sakit bercampur kecewa ini masih tak bisa hilang
dalam hatiku.
Keesokan harinya
Hari hariku kini terasa
semakin sepi,meski banyak teman yang
menemani. Tanpa ponsel bagai kehilangan belahan jiwa. Aku masih terdiam ,
merenung sendiri di bangku ini. Tiba-tiba dari belakang Dira menepuk pundakku. Dira
adalah orang yang selalu menemaniku, di kala aku
sedih.
Dia sudah aku
anggap sebagai sahabat ku sendiri ,meski kita baru 3 bulan saling kenal. Dia
mampu menguatkan saat aku lemah
dengan keadaan ,dia yang selalu memberikan pundaknya
saat ku terisak dalam tangis.
“Biarpun begitu dia juga ibumu, Mala,”
nasehat Dira
“Tapi aku tidak
tahan Dir,” ucapku lirih sambil menahan air mata
“Aku tahu
penderitaanmu, tapi kamu harus tetap sabar,” ujar Dira
Seminggu Kemudian
Aku semakin sibuk
dengan tugas sejak naik kelas sembilan. Belum lagi tambahan bimbingan belajar
di akhir jam pelajaran. Setiap bel sekolah berbunyi jantungku langsung berdegup
kencang. Dada terasa sesak karena takut, cemas, dan was-was bila mengingat ibu
di rumah. Dia pasti marah dan siap-siap melontarkan ratusan bahkan ribuan omelan
disertai prasangka buruk. Setelah turun dari angkutan aku berlari
sekencang-kencangnya bagai dikejar anjing gila agar segera tiba di rumah.
Setibanya di rumah kubuka pintu dengan perlahan sambil berjinjit berharap ibu
tak tahu kepulanganku.
“Kamu pasti main
lagi,” teriak ibu
“Jangan lupa
bersihkan halaman rumah, mengepel dan cuci piring,”
“Kenapa harus aku
semua yang mengerjakan,” ucapku lantang
“Karena kamu
perempuan,” teriak ibu sambil melotot
“Cepat kerjakan
jangan banyak komentar.”
“Iya, terus
apalagi,” jawabku dengan ketus
Dengan perasaan
yang dongkol sambil menahan tetesan air mata aku segera menuju dapur dan meraih
sapu, ingin rasanya gagang sapu ini kupukulkan kalau aku tidak ingat dosa. Aku
sudah tak tahan dengan perlakuan ibu.
Ingin rasanya aku pergi ke planet lain hingga tak bertemu lagi dengan ibu.
Keesokan harinya
“Aku mau minggat Dir,” ucapku lirih
“Apa, aku tidak salah dengar kan?” Kata Dira
sambil tangannya memegang jidatku seakan ingin memastikan bahwa aku baik-baik
saja
“Aku serius ......aku sudah tak tahan dengan
perlakuan ibuku.”
“Mungkin ibu akan lebih bahagia tanpa aku,”
ujarku
“Terus kamu mau ke mana? Kamu tak punya uang,
bagaimana dengan sekolahmu,” kata Dira
“Entahlah aku bingung,” jawabku
Semua masalah selalu kuceritakan
pada Dira. Dia selalu memberikan saran dan nasehat
yang terbaik padaku. Tak terasa
waktu semakin cepat
berlalu. Sang surya pun mulai tinggal di ufuk barat. Bel
pulang mulai berbunyi. Namun sebelum aku mengemasi buku-buku, terdengar suara....
“ Mala,ada ayahmu di
ruang tunggu,menjemputmu.” Ujar bu Ani
Lalu aku bergegas ke ruang tunggu menemui ayah sambil membawa
tas. Aku melihat
ayah sangat panik, aku masih bertanya sampai ayah berpamitan kepada bu Ani walikelasku. Selama di perjalanan aku bertanya pada ayah
“Kenapa
yah? Aku kok di suruh pulang, kita mau ke mana?” Lama tak ada respon dari ayah.
Kemudian kami sampai
pada suatu tempat, aku tahu
itu adalah rumah sakit. Tapi aku
tak tahu, mengapa
ayah mengajakku ke sini. Setelah lama
ayah bungkam, akhirnya ia mulai berkata,
”Ibu masuk rumah sakit, terkena serangan jantung”.
Aku hanya diam mendengar
jawaban ayah sambil menyusuri lorong rumah sakit. Dari kaca di balik
pintu aku lihat ibu
terbaring lemah di sana. Aku
memandangnya, tak terasa
aku meneteskan air mata.Tuhan, betapa durhakanya aku ini. Samapai-sampai aku tak memperdulikan dan
membuatnya sakit hati. Kini
dia tak lagi berdaya terbaring lemah di atas ranjang
membuatku semakin menyesal. Perasaan ini terus
mendesakku. Ibu mengetahui aku berdiri di depan pintu. Ia tersenyum melihatku dan menyuruhku agar mendekatinya.
“Maafkan aku bu ,“ kataku sambil menangis
“Ibu sayang kamu Claudy, semoga kamu mengerti
maksud ibu,”
“Ibu hanya ingin
kau menjadi anak yang mandiri agar nanti jika ibu tak ada kau bisa mengurus
dirimu sendiri,” ucapnya sambil membelai rambutku
Betapa bodohnya
aku yang tidak mengetahui sakit yang diderita ibu selama lebih dari lim tahun.
Betapa pandainya ibu menyembunyikan kesakitannya selama bertahun-tahun hanya
demi melatih kemandirianku. Betapa berdosanya hamba ya tuhan, karena sering
membentak, melotot bahkan mencaci ibu. Teringat tiga bulan yang lalu aku
menyebut ibu dengan julukan nenek sihir. Hanya karena ibu menyuruhku mencuci
dan menyetrika baju sekolahku di hari Minggu. Aku
semakin terisak sambil memegang erat lengan ibu. Merasa sangat berdosa dan berharap air
mataku yang meleleh dapat meleburkan dosaku selama ini. Ketika ibu mencium
keningku, terasa napas
hangatnya sejenak menenangkan batinku dan tak lama kemudian,
Tiiiiiiiiiiitttt…..
Tiiiiiitttt ……………….
“Ibu...ibu...bangun,
jangan tinggalkan aku.” Sambil kugoncang-goncangkan tubuhnya berharap ibu bisa
membuka mata dan mendengarkan permintaan maafku.
Andai saja waktu dapat berputar aku akan memperbaiki semua kesalahanku.
Tapi apa daya, semuanya akan terus berjalan tanpa kita bisa menghentikan
meski itu sedetik pun. Kini
aku hanya bisa mencoba memberikan yang terbaik
agar ibu disana bangga kepadaku. Selamat jalan ibu semua
kasih sayangmu akan ku kenang selalu.
Rintikan
air dingin tiba-tiba menembus kulit ku. Aku
sangat senang dengan datangnya hujan saat ini_setidaknya orang-orang tak bisa
melihat air mata yang membalut wajahku. Kenapa
ibu harus pergi, dia sangatlah berarti untukku tuhan, hanya dia yang menjadi lentera dihidupku.
Aku
goreskan semua
doa ini di balik awan yang menghiasi luasnya langit
biru. Aku lantunkan doa-doa terbaik
untuk ibu. Berharap dia
melihat awan
dan bisa
melihat semua goresan doa-doaku di sini. Semoga ibu tenang di sana dan aku
akan selalu menghiasi awan dengan untaian doa. Semoga Allah menempatkanmu di sisi terbik-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar