Oleh :
Venus, S.Pd
Di
bawah hujan deras aku melihat seorang ibu berjalan tanpa alas kaki. Aspal
dingin, lampu jalan samar-samar menerangi pagar-pagar besi pinggir jalan
sepanjang asramaku. Di tiap bandul pagar aku melihat ibu itu mengais rezeki di
tempat sampah yang bau dan kotor. Aku yakin beliau yang selama ini bersusah
payah pasti demi membesarkan anak-anaknya. Walau harus bekerja keras, yang
membuat lelah dan letih, dia tetap tersenyum tanpa harus menyalahkan takdir.
Tiba-tiba
aku teringat ibu di rumah. Sejak kematian ayahku enam bulan yang lalu aku tidak
pernah bertemu dengan ibu. Dalam hati terselip kekecewaan karena aku tak pernah
dikunjungi. Entahlah....mungkin beliau masih berduka, atau beliau sedang marah
padaku.
Aku
teringat dua tahun yang lalu saat ayah akan mendaftarkanku ke sekolah ini
mereka beradu mulut. Ayah merasa aku harus sekolah di tempat yang terbaik
dengan asrama yang terbaik juga. Ibu menentang mati-matian karena merasa
terlalu mahal biaya pendidikan asrama, tapi ayah tetap bersikukuh mendaftarkan
aku ke sini.
“Sam...Hisyam,
ayo kita harus segera berangkat,” ujar Ammar
“Kamu
lupa kalau hari ini kita mewakili sekolah untuk lomba di SMA Kusuma Bangsa,”
Kami
bergegas menuju mobil Ammar, orang tuanya sudah siap mengantar kami. Kadang aku
iri dengan Ammar yang selalu dikunjungi oleh orang tuanya. Sebelum ayah
meninggal beliau juga rutin mengunjungiku setiap bulan, tapi sejak beliau
meninggal aku merasa keluargaku tak ada yang merindukanku.
Kami
berlari menuju aula tempat presentasi lomba Duta Literasi dan kami hampir saja
terlambat karena lomba dimulai lima menit setelah kami regrestasi.
“Berikutnya
adalah presentasi yang akan disampaikan oleh Ammar dan Hisyam dari SMA Bakti
Utomo, kepada Ammar dan Hisyam kami persilahkan.”
Sejenak
kulayangkan pandanganku hingga menyapu seluruh aula, dalam hati berharap ada
sosok ibu yang sedang tersenyum bangga, karena anaknya telah mewakili sekolah
di ajang provinsi.
“Sam....ayo
dimulai,” sikut Ammar yang menyenggol lenganku membuat aku tersadar
“Assalamualaikum...selamat
pagi dan salam sejahtera bagi kita semua”
“Saat
ini kita sebagai remaja gemar bermain game pada gawai, dengan adanya gerakan
literasi sekolah, kami SMA Bakti Utomo telah melaksanakan program smart literasi, kita tetap bisa
menggunakan gawai atau gadget kita
untuk berliterasi. Smart literasi
bekerjasama dengan perpustakaan sekolah untuk menyediakan bahan bacaan mulai
dari bacaan fiksi maupun nonfiksi. Setiap ada kolesi buku baru di perpustakaan
sekolah, kita akan dapat informasi melalui aplikasi Smart literasi yang di gawai kita. Di mana pun, kapan pun kita bisa
melalukan literasi tanpa harus mengunjungi perpustakaan sekolah.”
“Smart literasi juga bermakna bahwa kita sebagai
remaja dan pelajar harus smart atau bijak
dalam menggunakan gawai atau smartphone.
Bagai mata pisau gawai bisa membuat kita dapat informasi yang bermanfaat tapi
juga dapat merusak otak kalau tidak digunakan secara bijak.” Ujar Ammar
menambahkan presentasiku
Tepuk
tangan dan riuh penonton membuatku bahagia sekaligus sedih. Setelah menunggu
beberapa jam, tiba waktu pengumuman pemenang sebagai Duta Literasi Sekolah.
Pikiranku kembali melayang pada mendiang ayah yang bercita-cita agar aku bisa
masuk perguruan tinggi negeri melalui jalur prestasi atau beasiswa.
“Dan
Juara 1 untuk Lomba Duta Literasi dimengkan oleh SMA Bakti Utomo, kami
persilahkan untuk Hisyam dan Ammar untuk menerima hadiah,” ujar MC
Keesokan
harinya aku disibukkan dengan kegiatan duta literasi di sekolah. Aku harus
membuat jadwal rutin literasi kelas yang
dilaksanakn setiap 15 menit sebelum pelajaran pertama dimulai. Setiap hari
Sabtu saat jam istirahat kami yang tergabung dalam duta literasi sekolah mengadakan
LITKEL (literasi keliling). Kami mendatangi gazebo-gazebo yang biasanya
digunakan teman-teman untuk bercengkrama, main hp atau hanya sekadar beristirahat.
Menghampiri mereka dengan membawa keranjang buku yang berisi bacaan fiksi dan
nonfiksi. Meski banyak yang menyambut kami dengan dingin dan tatapan aneh, tapi
beberapa siswa terlihat antusias dan membaca buku tersebut.
Sepulang sekolah aku membantu petugas
perpustakaan untuk up load buku baru
pada aplikasi smart literasi. Aku
juga aktif menulis di kolom literasi pada majalah sekolah untuk memotivasi temen-teman
membaca atau hanya sekadar menulis resensi buku baru yang ada di perpustakaan
sekolah.
Sesampainya
di asrama aku langsung memejamkan mataku, menenangkan otot-otot pundakku yang
seakan sangat berat untuk hari ini. Kupejamkan mata meski terasa panas. Menahan
air mata ini agar tak jatuh kembali. Berat untuk ku membuka mata ini. Tak
sanggup rasa ini menahan rindu kehadiran ibu. Tak tahan dengan rasa ini kuambil
Hp dengan ragu-ragu.
“Assalamualaikum
Ibu...”
“Waalaikumsalam...jangan
sering-sering telpon nanti uang jajanmu habis untuk beli pulsa”
“Bulan
ini kakakmu yang akan mengunjungimu, kamu butuh uang berapa?”
“Ya
bu...,” jawabku pendek, belum lagi aku bercerita tentang prestasiku yang
kemarin, dari ujung telpon ibu berkata “Sudah ya, ibu masih sibuk uangnya nanti
ibu titipkan ke kakakmu,” sebelum aku menjawab terdengar suara telpon ditutup.
Sikap ibu berubah semenjak kematian ayah. Aku merasa ibu tidak peduli dan tidak
lagi sayang padaku. Aku mendongak ke langit-langit kamar asrama, menahan air
mata agar tidak tumpah. Dada terasa sesak menahan rindu, namun pikiran melayang
menuntun hati untuk membenci ibu.
“Selamat
ya Hisyam kamu berhasil mempertahankan peringkatmu di semester ini,” ujar wali
kelasku
“Terima
kasih...apakah ibu tadi ke sini untuk mengambil rapot,” tanyaku dengan rasa
penuh harap ibu mengambil rapotku.
“Kakakmu
tadi yang mengambil karena ibumu ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan,”
ujar Pak Hanif
Sesaaat
aku merasa sulit bernafas dadaku terasa terhimpit batu besar, kalau saja aku tidak
ingat dia adalah ibuku ingin aku melontarkan sumpah serapah untuk dia. Dari
ujung lorong kulihat kakakku menenteng rapotku.
“Kenapa
berbulan-bulan ibu tak pernah mengunjungiku, telpon pun hanya hitungan menit
dan selalu diakhiri dengan kata sibuk,”
“Apa
salahku. Untuk apa aku berprestasi. Apa gunanya aku peringkat terbaik di kelas
kalau ibu tidak memperhatikanku,”
“Ibu
macam apa dia kak...selalu mengatakan sibuk dan repot dengan pekerjaannya,”
“Kenapa
ibu tidak seperti ibu-ibu yang lain, Kak,” tanyaku dengan tatapan mata yang
tajam penuh kemarahan. Belum lagi kakak menjawab semuanya aku pergi
meninggalkannya.
Tak
terasa hari kelulusannku tiba, seperti yang kuduga tak tampak ibu di acara
wisudaku dan yang menerima penghargaan atas prestasi siswa teladan adalah kakakku.
Setiap nafas yang kuambil terasa berat karena aku terlalu rindu sekaligus membenci
ibu. Sampai tiba saatnya aku harus meninggalkan asrama dan sekolah yang telah
aku tinggali selama tiga tahun, aku harus pulang dengan rasa berat karena akan
bertemu ibu.
Sesampai
di rumah tampak halaman tempat aku dan ayah menghabiskan waktu bermain bola.
Rumah tua peninggalan ayah masih dengan cat yang sama, sebelum aku meninggalkan
rumah ini tiga tahun yang lalu. Kuketuk pintu beberapa kali tapi sepertinya
tidak ada orang di rumah. Kubuka dengan perlahan pintu yang kebetulan tidak
terkunci.
“Kenapa
ruang tamu kosong...kursi tamu dan almarinya kemana?” tanyaku dalam hati.
Kulangkahkan kakiku menuju ruang tengah, tempat kami berkumpul untuk menonton
TV. Betapa kagetnya aku karena ruangan itu juga kosong tanpa barang satu pun.
“Assalamualaikum,
Ibu...ibu...ibu di mana?”
“Waalaikumsalam....kamu
sudah pulang nak,”
“Barang-barang
kita kemana, kenapa rumah ini kosong,”
“Ibu
tidak menjual barang-barang ini semua kan?” tanyaku. Terlihat ibu hanya diam
dan menundukkan kepala.
Gejolak
hati untuk membenci ibu semakin tak terbendung. Belum lagi aku sempat
melontarkan kemarahanku pada ibu, datanglah kakakku.
“Setelah
kematian ayah, ibu menjual barang-barang untuk keperluan sekolah dan asramamu,
tapi itu semua tidak mencukupi,” kata kakak
“Ibu
makan sehari satu kali, menjadi buruh gosok baju tetangga, bahkan ibu rela
bekerja hingga tengah malam membantu tetangga hajatan hanya untuk mendapatkan
upah meskipun sedikit,”
“Ibu
tidak pernah mengunjungi kamu untuk mengirit biaya pengeluaran,”
“Ibu
jarang telpon atau bahkan telpon hanya hitungan menit karena ibu tidak mau kamu
tahu kesedihannya, coba kamu ingat pernahkah ibu terlambat mengirim uang
sekolah dan uang jajanmu,”
“Pernahkah
kamu berpikir dari mana ibu mendapatkan uang untuk biaya sehari-hari kita. Ayah
memang dulu pengusaha tapi ketika beliau meninggal perusahannya bangkrut,”
“Sudahlah...
memang tugas ibu mencari nafkah, maafkan ibu kalau tidak bisa menjadi seperti
ibu-ibu yang lain karena tidak bisa mengunjungimu atau mendampingimu saat
berprestasi,” ujar ibu dengan suara lirih sambil menahan air matanya
“Ibu
menghindari telpon dari kamu bukan karena ibu tak sayang, tapi karena ibu takut
tak kuat membendung air mata ini. Ibu hanya ingin kamu fokus belajar tanpa
harus memikirkan biaya pendidikanmu.”
“Maafkan
Hisyam bu, yang pernah membenci ibu,” ujar Hisyam sambil memeluk ibunya
Ibu
benar-benar menjadi malaikat kami. Demi
melihat kebahagiaan di rona muka Ibu, malam itu seketika aku berikrar dalam
hati. Di ujung kerinduan ini aku bersumpah! Ibu akan selalu menjadi orang yang
paling kuhormati di dunia ini dan aku berjanji akan menggantikan setiap tetes
air mata yang telah ibu keluarkan dengan kebahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar