Kamis, 28 Mei 2020

Di Ujung Kerinduan

Oleh : Venus, S.Pd


Di bawah hujan deras aku melihat seorang ibu berjalan tanpa alas kaki. Aspal dingin, lampu jalan samar-samar menerangi pagar-pagar besi pinggir jalan sepanjang asramaku. Di tiap bandul pagar aku melihat ibu itu mengais rezeki di tempat sampah yang bau dan kotor. Aku yakin beliau yang selama ini bersusah payah pasti demi membesarkan anak-anaknya. Walau harus bekerja keras, yang membuat lelah dan letih, dia tetap tersenyum tanpa harus menyalahkan takdir.
Tiba-tiba aku teringat ibu di rumah. Sejak kematian ayahku enam bulan yang lalu aku tidak pernah bertemu dengan ibu. Dalam hati terselip kekecewaan karena aku tak pernah dikunjungi. Entahlah....mungkin beliau masih berduka, atau beliau sedang marah padaku.
Aku teringat dua tahun yang lalu saat ayah akan mendaftarkanku ke sekolah ini mereka beradu mulut. Ayah merasa aku harus sekolah di tempat yang terbaik dengan asrama yang terbaik juga. Ibu menentang mati-matian karena merasa terlalu mahal biaya pendidikan asrama, tapi ayah tetap bersikukuh mendaftarkan aku ke sini.
“Sam...Hisyam, ayo kita harus segera berangkat,” ujar Ammar
“Kamu lupa kalau hari ini kita mewakili sekolah untuk lomba di SMA Kusuma Bangsa,”
Kami bergegas menuju mobil Ammar, orang tuanya sudah siap mengantar kami. Kadang aku iri dengan Ammar yang selalu dikunjungi oleh orang tuanya. Sebelum ayah meninggal beliau juga rutin mengunjungiku setiap bulan, tapi sejak beliau meninggal aku merasa keluargaku tak ada yang merindukanku.
Kami berlari menuju aula tempat presentasi lomba Duta Literasi dan kami hampir saja terlambat karena lomba dimulai lima menit setelah kami regrestasi.
“Berikutnya adalah presentasi yang akan disampaikan oleh Ammar dan Hisyam dari SMA Bakti Utomo, kepada Ammar dan Hisyam kami persilahkan.”
Sejenak kulayangkan pandanganku hingga menyapu seluruh aula, dalam hati berharap ada sosok ibu yang sedang tersenyum bangga, karena anaknya telah mewakili sekolah di ajang provinsi.
“Sam....ayo dimulai,” sikut Ammar yang menyenggol lenganku membuat aku tersadar
“Assalamualaikum...selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua”
“Saat ini kita sebagai remaja gemar bermain game pada gawai, dengan adanya gerakan literasi sekolah, kami SMA Bakti Utomo telah melaksanakan program smart literasi, kita tetap bisa menggunakan gawai atau gadget kita untuk berliterasi. Smart literasi bekerjasama dengan perpustakaan sekolah untuk menyediakan bahan bacaan mulai dari bacaan fiksi maupun nonfiksi. Setiap ada kolesi buku baru di perpustakaan sekolah, kita akan dapat informasi melalui aplikasi Smart literasi yang di gawai kita. Di mana pun, kapan pun kita bisa melalukan literasi tanpa harus mengunjungi perpustakaan sekolah.”
“Smart literasi juga bermakna bahwa kita sebagai remaja dan pelajar harus smart atau bijak dalam menggunakan gawai atau smartphone. Bagai mata pisau gawai bisa membuat kita dapat informasi yang bermanfaat tapi juga dapat merusak otak kalau tidak digunakan secara bijak.” Ujar Ammar menambahkan presentasiku
Tepuk tangan dan riuh penonton membuatku bahagia sekaligus sedih. Setelah menunggu beberapa jam, tiba waktu pengumuman pemenang sebagai Duta Literasi Sekolah. Pikiranku kembali melayang pada mendiang ayah yang bercita-cita agar aku bisa masuk perguruan tinggi negeri melalui jalur prestasi atau beasiswa.
“Dan Juara 1 untuk Lomba Duta Literasi dimengkan oleh SMA Bakti Utomo, kami persilahkan untuk Hisyam dan Ammar untuk menerima hadiah,” ujar MC
Keesokan harinya aku disibukkan dengan kegiatan duta literasi di sekolah. Aku harus membuat jadwal  rutin literasi kelas yang dilaksanakn setiap 15 menit sebelum pelajaran pertama dimulai. Setiap hari Sabtu saat jam istirahat kami yang tergabung dalam duta literasi sekolah mengadakan LITKEL (literasi keliling). Kami mendatangi gazebo-gazebo yang biasanya digunakan teman-teman untuk bercengkrama, main hp atau hanya sekadar beristirahat. Menghampiri mereka dengan membawa keranjang buku yang berisi bacaan fiksi dan nonfiksi. Meski banyak yang menyambut kami dengan dingin dan tatapan aneh, tapi beberapa siswa terlihat antusias dan membaca buku tersebut.
 Sepulang sekolah aku membantu petugas perpustakaan untuk up load buku baru pada aplikasi smart literasi. Aku juga aktif menulis di kolom literasi pada majalah sekolah untuk memotivasi temen-teman membaca atau hanya sekadar menulis resensi buku baru yang ada di perpustakaan sekolah.
Sesampainya di asrama aku langsung memejamkan mataku, menenangkan otot-otot pundakku yang seakan sangat berat untuk hari ini. Kupejamkan mata meski terasa panas. Menahan air mata ini agar tak jatuh kembali. Berat untuk ku membuka mata ini. Tak sanggup rasa ini menahan rindu kehadiran ibu. Tak tahan dengan rasa ini kuambil Hp dengan ragu-ragu.
“Assalamualaikum Ibu...”
“Waalaikumsalam...jangan sering-sering telpon nanti uang jajanmu habis untuk beli pulsa”
“Bulan ini kakakmu yang akan mengunjungimu, kamu butuh uang berapa?”
“Ya bu...,” jawabku pendek, belum lagi aku bercerita tentang prestasiku yang kemarin, dari ujung telpon ibu berkata “Sudah ya, ibu masih sibuk uangnya nanti ibu titipkan ke kakakmu,” sebelum aku menjawab terdengar suara telpon ditutup. Sikap ibu berubah semenjak kematian ayah. Aku merasa ibu tidak peduli dan tidak lagi sayang padaku. Aku mendongak ke langit-langit kamar asrama, menahan air mata agar tidak tumpah. Dada terasa sesak menahan rindu, namun pikiran melayang menuntun hati untuk membenci ibu.
“Selamat ya Hisyam kamu berhasil mempertahankan peringkatmu di semester ini,” ujar wali kelasku
“Terima kasih...apakah ibu tadi ke sini untuk mengambil rapot,” tanyaku dengan rasa penuh harap ibu mengambil rapotku.
“Kakakmu tadi yang mengambil karena ibumu ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan,” ujar Pak Hanif
Sesaaat aku merasa sulit bernafas dadaku terasa terhimpit batu besar, kalau saja aku tidak ingat dia adalah ibuku ingin aku melontarkan sumpah serapah untuk dia. Dari ujung lorong kulihat kakakku menenteng rapotku.
“Kenapa berbulan-bulan ibu tak pernah mengunjungiku, telpon pun hanya hitungan menit dan selalu diakhiri dengan kata sibuk,”
“Apa salahku. Untuk apa aku berprestasi. Apa gunanya aku peringkat terbaik di kelas kalau ibu tidak memperhatikanku,”
“Ibu macam apa dia kak...selalu mengatakan sibuk dan repot dengan pekerjaannya,”
“Kenapa ibu tidak seperti ibu-ibu yang lain, Kak,” tanyaku dengan tatapan mata yang tajam penuh kemarahan. Belum lagi kakak menjawab semuanya aku pergi meninggalkannya.
Tak terasa hari kelulusannku tiba, seperti yang kuduga tak tampak ibu di acara wisudaku dan yang menerima penghargaan atas prestasi siswa teladan adalah kakakku. Setiap nafas yang kuambil terasa berat karena aku terlalu rindu sekaligus membenci ibu. Sampai tiba saatnya aku harus meninggalkan asrama dan sekolah yang telah aku tinggali selama tiga tahun, aku harus pulang dengan rasa berat karena akan bertemu ibu.
Sesampai di rumah tampak halaman tempat aku dan ayah menghabiskan waktu bermain bola. Rumah tua peninggalan ayah masih dengan cat yang sama, sebelum aku meninggalkan rumah ini tiga tahun yang lalu. Kuketuk pintu beberapa kali tapi sepertinya tidak ada orang di rumah. Kubuka dengan perlahan pintu yang kebetulan tidak terkunci.
“Kenapa ruang tamu kosong...kursi tamu dan almarinya kemana?” tanyaku dalam hati. Kulangkahkan kakiku menuju ruang tengah, tempat kami berkumpul untuk menonton TV. Betapa kagetnya aku karena ruangan itu juga kosong tanpa barang satu pun.
“Assalamualaikum, Ibu...ibu...ibu di mana?”
“Waalaikumsalam....kamu sudah pulang nak,”
“Barang-barang kita kemana, kenapa rumah ini kosong,”
“Ibu tidak menjual barang-barang ini semua kan?” tanyaku. Terlihat ibu hanya diam dan menundukkan kepala.
Gejolak hati untuk membenci ibu semakin tak terbendung. Belum lagi aku sempat melontarkan kemarahanku pada ibu, datanglah kakakku.
“Setelah kematian ayah, ibu menjual barang-barang untuk keperluan sekolah dan asramamu, tapi itu semua tidak mencukupi,” kata kakak
“Ibu makan sehari satu kali, menjadi buruh gosok baju tetangga, bahkan ibu rela bekerja hingga tengah malam membantu tetangga hajatan hanya untuk mendapatkan upah meskipun sedikit,”
“Ibu tidak pernah mengunjungi kamu untuk mengirit biaya pengeluaran,”
“Ibu jarang telpon atau bahkan telpon hanya hitungan menit karena ibu tidak mau kamu tahu kesedihannya, coba kamu ingat pernahkah ibu terlambat mengirim uang sekolah dan uang jajanmu,”
“Pernahkah kamu berpikir dari mana ibu mendapatkan uang untuk biaya sehari-hari kita. Ayah memang dulu pengusaha tapi ketika beliau meninggal perusahannya bangkrut,”
“Sudahlah... memang tugas ibu mencari nafkah, maafkan ibu kalau tidak bisa menjadi seperti ibu-ibu yang lain karena tidak bisa mengunjungimu atau mendampingimu saat berprestasi,” ujar ibu dengan suara lirih sambil menahan air matanya
“Ibu menghindari telpon dari kamu bukan karena ibu tak sayang, tapi karena ibu takut tak kuat membendung air mata ini. Ibu hanya ingin kamu fokus belajar tanpa harus memikirkan biaya pendidikanmu.”
“Maafkan Hisyam bu, yang pernah membenci ibu,” ujar Hisyam sambil memeluk ibunya
Ibu  benar-benar menjadi malaikat kami. Demi melihat kebahagiaan di rona muka Ibu, malam itu seketika aku berikrar dalam hati. Di ujung kerinduan ini aku bersumpah! Ibu akan selalu menjadi orang yang paling kuhormati di dunia ini dan aku berjanji akan menggantikan setiap tetes air mata yang telah ibu keluarkan dengan kebahagiaan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar